Kini sekarang kita hanya boleh mengenang jazah para
pejuang dan perintis para misionaris pembawa agama, pendidikan dan obat-obatan.
Karena kita katakan pembawa agama saja berarti kurang lengkap ceritanya.
Para misionaris dari Belanda, Jerman dan negara
lainnya yang datang di pulau cendrawasih, awalnya mereka hanya bisa
berkomunikasi dengan bahasa isyarat dengan masyarakat setempat. Hingga lambat
laun kedua belah pihak mempelajari bahasa setempat dan bahasa yang datang dari
daerah asing.
Ada beberapa pelayan misionaris yang terkenal di
Mee Pago dan La Pago yaitu Zoalkiki Zonggonau asal suku Migani dan Auki Tekege
asal suku Mee yang mulai berkarya dari tahun 1936. Oleh karena berkat dari para
tetua inilah diperkenalkannya agama, pendidikan dan obat-obatan. Hingga
beberapa tahun kemudian dibuka pusat pendidikan di Kokonau.
Berkat adanya pusat pendidikan di Kokonau maka
diberangkatkan perwakilan dari setiap suku dan daerah untuk menimba ilmu
disana. Angkatan kedua dari sekolah yang dibangun hingga kelas 4 ini termasuk
Bpk. Gervasius Kotouki diantara tujuh orang teman lainnya yang berbeda daerah,
suku dan bahasa dari Me Pago dan La Pago.
Tanpa ada kabar balik dari tempat perburuan ilmu
kepada pihak keluarga. Pihak keluarga hanya tahu bahwa anak mereka sedang
berburu ilmu ‘Ogai Penaa’ (Bahasa Mee
‘berburu Ilmu’). Karena saat itu alat komunikasi dan transportasih belum
sama sekali terjangkau. Jadi, pihak keluarga memakluminya segala hal apapun
yang terjadi, dia anak lelaki dan akan menanggungya sendiri, ‘Akekago Wokago’ (
bahasa Mee ‘terserah anda di kehidupan selanjutnya’).
Setelah beberapa tahun berlalu angkatan pertama di
sekolah itu kembali mengutus kepada daerahnya masing-masing tetapi angkatan
kedua diutus oleh pihak sekolah pada daerah yang melum mengutus putra mereka
untuk bersekolah, karena masih belum betul mengenal para misionaris yang
datang.
Bapak Kotouki saat itu diutus ke Wamena, ke beberapa
daerah yang sangat terpencil dibalik indahya alam yang belum sama sekali tersentuh.
Berbaur dengan masyarakat setempat yang sama sekali tidak saling kenal
sebelumnya. Bahasa dan dan budaya yang berbeda membuat Bapak Kotouki harus
menyesuaikan selama kurang lebih satu tahun.
Setelah empat tahun berlalu Beliau kembali diutus ke daerah
lain karena berkatnya pada daerah itu telah menamatkan beberapa putra setempat
dari pusat pendidikan kokonau yang kembali mengutus kesana.
Kemudian Bapak Kotouki dijemput oleh beberapa tokoh
masyarakat dari kampung Bilai dan Bilogai (Sekarang Kab. Intan Jaya) karena telah terkabar antar masyarakat hingga
terdengar sampai disana. Beliau melanjutkan pelayanannya bersama masyarakat
setempat. Sekitar tahun 1948 beliau ditawarkan kembali ke kampung Ilaga dan
sekitarnya (Sekarang Kab. Puncak Papua) namun dari pihak penyelenggara pendidikan atau para misionaris
menginginkan dia untuk kembali ke daerah Mee Pago karena pada tahun itulah
pemerintah belanda membangun sekolahan di Enarotali.
Bersama masyarakat Enarotali (sekarang Kab.Paniai) selama dua tahun kemudian
ia mendampingi tim misionaris lain yang membangun sekolahan di Obano tahun
1950. Beliau pernah berpartisipasi dalam pembangunan lapangan terbang Enarotali
pertama kali oleh pemerintah belanda.
Pada masa kejayaannya atau pada umur yang mudah beliau
kembali bertugas bersama tim misionaris di Dadou daerah Siriwo, perbatasan
antara Nabire-Paniai. Disana hanya setahun lebih, karena beliau telah
mendengar informasih bahwa telah berkembang dengan pesat sekolahan yang dibagun
oleh para misionaris di daerah Mapia kampung halamannya sendiri.
Dengan rasa ingin kembali ke daerah asalnya untuk
menebar pekabaran Injil dan pendidikan juga tidak terlepas dari rasa rindu
beliau mengembara kembali di seantero daerah Mapia. Sekitar tahun 1970 beliau
menetap di kampung Toubai bersama istri barunya Gervasia Iyai (Alm, 2015) dari
kampung Dihowdimi.
Di Mapia sendiri dipelopori oleh Pastor Smith Ofm
sekitar tahun 1936, beberapa tahun kemudian menamatkan beberapa angaktan dari
sekolah yang dibangun di daerah Timepa yaitu SD YPPK Santa Maria Tillemans Timeepa.
Karena Bapak Kotouki Berlatarbelakang Katekis (Pembantu
Pastur untuk Umat Katolik), maka beliau kembali membuka Gereja di kampung
Dihowdimi dengan kerja sama masyarakat setempat yang sangat kompak saat itu.
Beserta rumah para Pastur (sekarang Pastoran) disana.
Kedua tempat ini dibangun atas dasar izin para
misionaris, karena disana letak kampungnya berjauhan dengan kampung Timeepa dan
Modio untuk beribadah bersama saat hari raya dan minggu biasa. Juga karena
daerah perbukitan yang tinggi sangat tepat untuk tempat peristirahatan dengan
udara yang sejuk dan pemandangan yang elok pula.
Saat itupun beliau masih terlepas dari keluarganya,
karena beliau ditugaskan di Dihowdimi yang adalah kampung dari Istrinya.
Sementara keluarga aslinya berkediaman di Hikaukebo, salah satu kampung kecil
di Timeepa. Masa kejayaan beliau berlabu disana.
Pada masa senjanya beliau kembali kedalam pelukan
keluarganya di Hikaukebo. Hiruk pikuk kehidupan dilaluinya bersama
masyarakat. Keluarga bahagia. Beliau
mendapat berkat dari Tuhan memperoleh buah hatinya sebanyak 14 bersaudara, 7
orang perempuan dan 7 orang lelaki.
Pada masa tuanya, beliau menjalani hari-hari hidup
yang sangat luar biasa. Aktif di Gereja. Membagun rumah sendiri berlantai dua
di kampung kediamannya, hingga sering jalan pulang-balik Timeepa-Bomomani dengan
berjalan kaki.
Foto Dok V.K 2010 |
Beliau adalah salah satu pelopor perencanaan
pembagunan sekolah di Hikaukebo. Yang pada saat ini sedang mempersiapkan bahan
dan materil untuk dibangun.
Hingga kini pada tanggal 5 Desember 2016, pukul 13
lebih waktu Papua beliau dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Menghembuskan nafas
terakhir di kampung halamannya Hikaukebo, Timepa Kab. Dogiyai. Beliau telah
berumur 91 tahun.
Nasehat dan didikannya telah berhasil memamanusiakan
manusia Meepago dan Lapago. Beliau berhasil dalam menjalankan tugasnya baik
dari para Misionaris, diri sendiri dan dari Yang Maha Kuasa itu sendiri.
Harapan keluarga bahwa mohon doa atas kepergian Beliau agar menghadap ke hadirat Tuhan dan bagi keluarga yang
ditinggalkanya agar diberi ketabahan dari Tuhan.
Akhirnya penulis mewakili kaum intelek dan pelajar
asal Mapia menyampaikan turut belasungkawa kepada Bapak Gervasius Kotouki yang
adalah pekabar Injil dan guru besar bagi masyarakat Lapago, Meepago dan umumnya
Tanah Papua surga kecil yang jatuh ke bumi.
*) Penulis adalah mahasiswa jurusan
Biokimia di tanah pasundan, anak ketiga dari putri beliau yang ketiga.
0 komentar:
Posting Komentar
Komentar sesuai dengan kutipan diatas menurut pemahaman anda, harap komentar yang membangun dan bermanfaat.